Sabtu, 18 Desember 2010

SARTONO KARTODIRDJO

(Pakar Sejarah)


“Menulis itu merupakan kewajiban.”


Begitulah prinsip Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, yang menilai eksistensi seorang ilmuan dari karya-karya yang dihasilkan. Publish or perish, seperti yang banyak diyakini oleh intelektual mancanegara. Karena itu Sartono pernah mengkritik rekan-rekan sesama akademisi yang disebutnya sebagai “intelektual pohon pisang” yang hanya sekali berbuah, yaitu disaat dipaksa membuat disertasi sebagai tugas wajib sebelum meraih gelar.
Sejak kecil Sartono sudah terpesona dengan ilmu sejarah. Nilai mata pelajarannya selalu sepuluh. Dulu ayahnya pernah secara khusus embawa Sartono ke Candi Prambanan, “agar kelak menjadi orang berguna”, ujar sang ayah saat itu. Ia dikenal sebagai pelopor penulisan sejarah dari sudut pandang rakyat kecil. Jika sebelumnya, sejarah adalah teks milik penguasa (dari zaman kerajaan hinggga zaman republik), maka Sartono membalikan kebiasaan tersebut. Ia menulis sejarah dari presepsi wong cilik. Justru karena itu, hasil karyannya memiliki banyak keistimewaan.
Sartono merasa risi jika kehidupan, konsep hidup, dan sejarah Indonesia ditulis oleh para peneliti dan penulis asing, apalagi kalau ditulis dalam konsep Barat. Ia pun menggunakan perspektif likal dan masyarakat bawah dalam penelitian dan penulisan hasil karyanya. Ia menjadi pelopor dalam pendekatan tersebut.
Lahir di Wonogiri, 15 Februari 1921., konon leluhurnya yang berasal dari Solo merupakan pengikut Pangeran Diponogoro. Sejak kecil ia sudah ditinggal wafat ibunya. Ayahnya Tjitrosarojo, pegawai pos di zaman Balanda, kemudian menikah lagi dan memberinya dua adik.
Sejak kecil Sartono sudah mengidap penyakit selaput jala (retina) mata, yang mengaburkan penglihatannya. Tentu hal itu sangat menggunggu kesenangannya membaca, karena harus dibantu kaca pembesar. Dengan keterbatasannya ia tak menyerah sebagai hidup bararti manjawab tantangan, begitu prinsip hidunya.
Sartono yang pernah menjadi ketua AMKRI (Angkatan Muda Katolik Republik Indonesia) ini adalah lulusan Hollands Inlandsche Kweekschool (HIK), sekolah guru. Berturut-turut menjadi guru SD di Salatiga (1941-1950), guru SMAP di Yogyakarta (1946-1950), guru SMA di Jakarta (1950-1956), sampai menjadi dosen di Univarsitas Gajah Mada Yogyakarta, dan IKIP Bandung (1959-1962). Ia juga tercatat sebagai guru besar Fakultas Sastra UGM pada 1968. sederet galar akademisnya telah membuktikan kepakarannya dalam bidang sejuarah. Gelar M.A di Universitas Yale, AS dan doktor sejarah yang iraihnya dengan predikat cum laude di Universitas Amsterdam, 1966. Disertasinya, The Peasant Revolt of Banten in 1888, Its Condition, Course and Sequel:A Case Study of Social Movement in Indonesia, menyinggung aspek, gejala, dan fenomena Ratu Adil dalam pemberontakan petani di Banten.
Beranjak dunia akademis, Sartono mulai menuangkan ilmunya lewat berbagai tulisan. Pada 1981, ketikamanjadi guru besar tamu di netherlands Institute for Advanced Study in Humanities and Social Sciences di Wassenaar, Den Haag, ia menulis seri Surat dari Wassenaar ke Kompas edisi Minggu. Tulisannya banyak menyinggung sejarah Indonesia yang berkaitan dengan penjajahan Belanda. Berturut-turut karya tulisnya makon beragam. Tulisannya cendrung berciri Toynbeean yang menganalisis proses sejarah dengan konsep challenge and response. Pola pikir seperti ini dekembangkan oleh sejarawan terkenal, Arnold J. Toynbee.
Karya masterpiece-nya yang telah dibukukan antara lain Agrarian Radicalism (ed. Claire Hold), Culture and Politic in Indonesia (Cornell University Press, 1972), dan Protest Movement in Rudal Java (Oxford University Press, 1973). Namun yang paling terkenal di negeri ini adalah Ratu Adil (Sinar Harapan, 1984), yang mengulas Gerakan Ratu Adil sebagai gerakan keagamaan yang menantikan datangnya seorang Juru Slamat, Imam Mahdi, atau Mesias; Ratu yang akan membewa kebahagiaan dan kemakmuran pada masa lampau. Gerakan ini banyak muncul di Jawa pada saat tekanan pemerintah kolonial memuncak, seperti: Nyi Acih di Sumedang, Jawa Barat (1970), Jumadilkubra atau Kobra di Jawa Tengah (1871), Jasmani di Kediri, Jawa Timur (1887), Mangkuwijaya (1865), dan di Tanggerang (1924). Sekali lagi Sartono mengkritik kalau fenomena lokal seperti itu begitu diabaikan dalam penulisan sejarah Indonesia, sebab selama ini ilmu sejarah memang dikuasai mainstream penulisan dari sudut pandang penguasa, bukan sejarah lokan dari sudut pandang orang kebyakan.
Meski concern terhadap sejarah dan akar budaya Jawa, ia menolak kalau dianggap tidak nasionalis, “Yang berbahaya adlah Javanosentris, yang menjadikan Jawa sebagai ukuran terbaik dan standar nasional,” Katanya.


Sumber: 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia. Penerbit: Narasi.
Tuntas. Penerbit: Graha Pustaka Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar